Cerita Kota

Jejak Kopi Lokal di Arsiran Akhim

26 Mei 2023

387 views

Kontributor :
Gema Mahardika
@gemmahardhika
Kontributor :
Gema Mahardika
@gemmahardhika

#AmingTheSeries | EPISODE 6

Proses Membuat Logo Aming Coffee

Suatu waktu di tahun 2015, komputer yang digunakan Ju Khim (46) untuk membuat logo Aming Coffe, hangus. Sudah hampir delapan jam dia menatap layar dengan alat sketsa digital. Pria yang akrab disapa Akhim tersebut pantang lelah sebelum mahakaryanya bungkus. Padahal sosok Limin Wong–atau Aming–tidak memakan banyak ruang untuk digambar.

Perawakannya yang kurus, seharusnya tak menghabiskan waktu Akhim menggambar. Namun dia pemerhati detail. Memikirkan elemen-elemen esensial dalam logo, perlu waktu semalaman. Tak jarang berbulan.

“Kadang memerlukan waktu panjang untuk menentukan apa saja yang harus masuk ke dalam logo,” tutur pria yang sehari-harinya bekerja sebagai desainer bangunan ini.

Sebelum komputer itu hangus, lima variasi logo sudah dibuat. Itu berarti ada lima ide berbeda. Ada lima kisah dan elemen-elemen tak serupa. Nahasnya, kumpulan ide itu ikut menguap bersama, setelah komputer keluar dari meja perbaikan. Seperti yang dirinya sebut, “untuk satu ide kita biasa pergi ke gunung, memancing di tengah laut, bahkan ada yang meninggalkan keluarga.” Syahdan, lima pemikiran Akhim lenyap di memori digital.

Arsiran Aming yang sedang menuang air kopi dari teko tembaga kini jadi identitas kuat dan melekat di kepala banyak orang. Ya, Akhim akhirnya menuangkan pikirannya hanya ke dalam secarik kertas. Pena hitam di awal 2016 mengukir logo Aming Coffee.

“Kalau digambar manual tidak mungkin hilang lagi kan (datanya),” ujarnya sambil menarik napas dalam.

Sosok Aming di logo, memang sengaja tak dimunculkan terlalu gamblang, walau inspirasinya dari foto yang dia potret sendiri. Akhim beralasan, kalau sosok Aming di logo itu bisa jadi siapapun yang memiliki tekad mengembangkan potensi di sekitar. Dikaburkannya wajah di logo untuk memancing persepsi orang lain. Tidak sedikit yang bertanya siapa pria kurus tinggi yang menempel di atas nama Aming Coffee. Apakah dia Aming? Atau boleh jadi seseorang yang berpura-pura jadi Aming?

Fokusnya bukan kepada siapa, melainkan bagaimana–Aming Coffee–memiliki usia yang panjang dan tidak terpaku kepada satu orang saja.

“Makanya kami buat tidak terlalu jelas,” sambungnya.

Lebih lagi bahkan, sebelum ikon itu muncul, Akhim berencana melukis abstrak. Dia pikir, diperlukan seni yang kompleks untuk menggambarkan suasana penikmat kopi Aming.

“Tiga logo sebelumnya juga saya yang buat. Di situ ada gambar gelas dengan asap yang mengepul menjelaskan kopi Aming. Tapi saya pikir kurang identik, sehingga cari ide lagi,” imbuh Akhim, yang juga konsultan bangunan.

Menyusun ide juga menimbulkan pergulatan. Penikmat seni abstrak tidaklah banyak. Kalaupun logo itu jadi seperti keinginannya, Aming bisa jadi sepi fans. Alias tersegmen hanya kepada orang-orang tertentu. Itu yang Akhim dan Limin tidak mau.

“Semi art memang bagus, tetapi jarang diminati,” katanya. Aming Coffee harus jadi milik seluruh masyarakat Pontianak.

Ide Eday

Jadilah keputusan dibuat: Limin Wong atau Aming–-sedang menuang kopi menggunakan teko tembaga. Ada tiga gelas yang akan disajikan. “Sangat Pontianak,” ujar Akhim. Ide itu tidak datang muluk-muluk. Isi kepala lain dari Hongkong, muncul. Namanya Eday Ng, sang pemrakarsa ide logo Aming Coffee. Bakat seninya sangat teruji di berbagai medan. Pada jalan-jalan kreatif itu, dirinya berbisik kepada Limin, “cari logo yang menggambarkan identitas ngopi di Pontianak.”

Pertemanan Limin dengan Eday sudah terjalin sejak bangku sekolah dasar. Kedekatan keduanya kepada Khatulistiwa juga yang akhirnya memunculkan ide membangun brand kopi yang mahsyur sebagai Kopi Legendaris Pontianak. Terkini, Eday menjadi pebisnis di Hongkong. Seorang yang hobi mengolah action figure gundam ini juga merupakan seorang pakar branding.

Di tahun yang sama sebelum logo itu dieksekusi oleh Akhim, Eday memulai petualangannya menemukan logo itu. Setelah dia mencari referensi, bertukar pikiran dan menyaksikan sekitar—sebelum akhirnya berlabuh di satu ide itu. Ide yang, sampai-sampai, sering ditiru warung kopi lain. Bahasa bekennya plagiat.

Idenya juga sedikit berambisi. Dia ingin logo itu dikenal masif. Bukan tanpa sebab, ini logo ketiga yang dibuat. “Harus trending nih,” katanya menirukan isi hatinya delapan tahun lalu.

Kedua logo sebelumnya juga masuk registrasi sertifikat merek di Kemenkumham. Yang pertama di tahun 2012, yang kedua di tahun 2015. Baru disusul yang dipakai kini, di tahun 2018. Siapapun yang masih berani melakukan pembajakan akan bersiap-siap menghadapi surat-suratan itu.

Harga dari sebuah ide memang mahal. Bukan saja soal ongkos dan modal, tapi juga pengalaman yang terlewat. Eday telah melalui banyak tahap di dunia seni. Sejak SMA, dirinya digandrungi lawan jenis karena bakatnya menulis nama dengan huruf kaligrafi–membuatnya mudah melekat dalam kepala para gadis saat itu. Teman-teman seangkatannya pun sepakat, selain karena wajahnya yang tampan, fleksibilitas dan keluwesan hasil karya Eday, menggambarkan dirinya.

Kemampuannya di atas rata-rata. Di dalam kepala Eday, sebuah kata bisa menjadi mesin. Sepasang kalimat bisa menjadi kekuatan yang menggerakan manusia. Setitik pengetahuan bisa membesarkan zaman. Begitu kisah sahabat karibnya, Limin.

“Dia sukses dalam karirnya karena bakatnya di bidang seni,” ucap Aming.

Sudah banyak perusahaan ternama di dunia yang menikmati branding Eday dan timnya. Pria kelahiran Pontianak itu telah melanglang buana di dunia periklanan. Lagi-lagi, bakat seni dan ketekunannya yang membawanya ke level lebih tinggi. Logo Aming Coffee juga menjadi satu di antara ide brilian Eday, dengan hasil eksekusi Akhim.

Tiga Cangkir

Aming sedang menuang kopi hitam ke tiga gelas cangkir. Lantas kenapa tiga, bukan dua, atau empat? Akhim bercerita, tiga adalah angka yang pas atau sempurna. Tidak lebih dan tidak juga kurang. Tiga menunjukan ada tiga orang yang boleh jadi tidak saling kenal memesan kopi hitam dan menjadi akrab satu sama lain. Tiga juga angka persahabatan, karena jika ada dua orang saling berbeda pendapat, yang lainnya akan menengahi. Kembali hangat di meja obrolan. “Seperti pertemanan saya dengan Aming,” sambungnya.

Centong kuningan dan teko layaknya pasangan serasi. Saling menyeimbangkan. Tanpa salah satunya, suasana kurang. Atau lebih tepatnya untuk Aming Coffee, pekerjaan terhambat. Dengan centongan itu, pekerjaan barista menjadi lebih mudah. Gagang centong amat panjang, kemiringannya sudah diatur. Betul, mengambil air panas yang berada di meja barista jadi tidak takut-takut. Bagi kita yang ingin mencoba, tak perlu khawatir merasakan langsung panas air mendidih.

“Uniknya, centong ini hanya ada di Pontianak dan sekitarnya. Saya tidak pernah melihat kopi seperti ini di tempat lain. Mungkin sekarang ada, tapi rata-rata yang punya orang Pontianak. Sangat khas,” ungkapnya.

Aliran air rupanya hal paling sulit digambar dalam logo. Warna hitam mungkin menjelaskan warna kopi. Tetapi tidak dengan tekstur. “Terlalu lembut dikira air putih biasa,” terang Akhim. Tantangannya adalah membuat tekstur air sedikit kasar dan berminyak, seperti kopi hitam. Dia mengulang-ulang arsirannya. Jatuhnya air harus natural. Jaraknya dengan teko juga menentukan, apakah yang keluar itu air kopi atau air bening. Untuk mendukung itu, Akhim menambahkan toples di samping, yang diisi kopi hitam dengan gula pasir.

Delapan tahun lalu, gaya siluet digandrungi. Tawaran untuk membuat gaya yang sama sudah disampaikan Akhim kepada Aming. Gelap, iya. Namun menjual. Sayangnya, teko dan cangkir tembaga serta tubuh Aming akan termakan bayangan jika dibuat seluruhnya siluet. Alasan lainnya juga terlalu gelap dan abstrak.

Klien Pertama

Aming menjadi klien pertama Ju Khim sebagai penyedia jasa periklanan pada sekitaran tahun 2010. Mereka sudah saling mengenal sejak lama. Awal mulanya karena Akhim sering duduk sebagai pelanggan. Dia menikmati dan menyadari kopi Aming tidak pernah berubah dari dulu. Baik di lidah, juga suasananya. Akhim yang tidak terlalu suka kopi manis, paham betul selera sang pionir.

Setelahnya, karena project pertamanya ini, nama Akhim semakin dikenal di kalangan pengusaha. Mereka yang ingin meluaskan sayap niaga, akan mendatanginya untuk berdiskusi sampai meminta jasa desain. Khususnya pada desain bangunan. Dia mempelajarinya secara otodidak. Tidak ada gelar sarjana teknik yang melekat di namanya.

Sebagai desainer, dia juga mengalami perasaan menyesal. Ketika suatu project itu sudah terkunci untuk diserahkan, barulah muncul pikiran-pikiran negatif.

"Selalu merasa kurang, harusnya begini, harusnya begitu,” ucapnya.

Logo Aming tidak terkecuali. Jika ditanya apa saja yang harusnya diperbaiki, Akhim tak mau menjawab. Tapi dia tahu mana yang sebetulnya masih kurang sempurna secara desain. Namun toh, menerima kekurangan adalah bagian dari kesempurnaan, bukan?




Top