Aliran Sejarah Pontianak dari Parit yang Menghidupkan Kota
13 September 2024 |
114 views |
CERITA KOTA | Di tengah hiruk-pikuk pembangunan Kota Pontianak, ada satu warisan Belanda yang masih bertahan: parit-parit yang pernah menjadi nadi kehidupan kota. Dulu, parit-parit ini bukan sekadar saluran air, melainkan jalur utama bagi penduduk untuk berdagang, berinteraksi, bahkan bertahan hidup. Bayangkan, sampan-sampan hilir-mudik berlayar menyusuri parit, membawa hasil bumi dan barang dagangan. Namun, seiring waktu, fungsi parit ini perlahan memudar, menyisakan cerita yang terpendam di kedalaman airnya. Berawal dari kondisi geografis Pontianak yang unik, dengan ketinggian yang sangat rendah—hanya 0,8 hingga 1,5 meter di atas permukaan laut—kota ini rentan terhadap banjir rob, terutama ketika musim penghujan dan pasang air laut. Pada abad ke-18, tepatnya pada tahun 1779, ketika Belanda mulai menjejakkan kakinya di tanah ini, mereka sadar bahwa Pontianak membutuhkan sistem pengendalian air yang efektif. Inilah saat Belanda memperkenalkan sistem kanal, atau yang dikenal dengan nama parit. Menghadapi masalah banjir yang terus-menerus, pemerintah kolonial Belanda mengambil inisiatif untuk membangun kanal-kanal atau parit yang berfungsi mengatur aliran air di Pontianak. Parit-parit ini berperan penting dalam mengatur keluar masuknya air pasang, serta sebagai jalur transportasi utama. Seperti halnya di negeri asal mereka, Belanda menggunakan pengetahuan tentang sistem kanal untuk menciptakan infrastruktur air yang solid. Dilansir dari Mongabay Indonesia, kawasan Pontianak sendiri dipengaruhi oleh Sungai Kapuas dan Sungai Landak, dua sungai besar yang menjadi tulang punggung transportasi air di masa lampau. Penduduk setempat biasa menggunakan perahu untuk beraktivitas, baik itu mengangkut hasil bumi maupun berdagang antarwilayah. Bahkan, para penjual memiliki cara unik untuk memanggil pembeli dengan seruling bambu yang memiliki nada panggilan khusus tergantung jenis barang yang dijual.
Selain sebagai sistem pengendali air dan sarana transportasi, setiap parit di Pontianak menyimpan cerita dan sejarahnya sendiri. Banyak parit yang dinamai berdasarkan pohon-pohon atau peristiwa penting yang pernah terjadi di sekitarnya. Misalnya, Parit Sungai Jawi dinamai sesuai dengan pohon jawi-jawi yang dulunya tumbuh subur di sana. Kemudian ada Parit Sungai Putat, yang namanya diambil dari pohon putat, dan Parit Nenas yang terinspirasi oleh tanaman nanas yang banyak tumbuh di sekitarnya. Pontianak pada masa itu adalah kota yang sangat bergantung pada aliran air. Dalam sebuah riset yang dilakukan oleh Lembaga Pengkajian dan Studi Arus Informasi, disebutkan bahwa hingga kini terdapat sekitar 42 parit yang tersebar di seluruh kota. Berdasarkan SK Walikota Pontianak No 34 tahun 2004, parit-parit ini diklasifikasikan menjadi tiga jenis: parit primer sepanjang 187,474 meter, parit sekunder sepanjang 102,045 meter, dan parit tersier sepanjang 97,700 meter. Namun, seiring berjalannya waktu, fungsi parit di Pontianak mulai memudar. Banyak dari parit-parit tersebut ditutup untuk pelebaran jalan atau tertutup oleh gulma karena tidak lagi digunakan sebagai jalur transportasi. Yang lebih mengkhawatirkan, beberapa parit kini telah berubah menjadi tempat pembuangan sampah dan limbah rumah tangga. Berdasarkan wawancara dengan Mongabay Indonesia, Deman Huri menjelaskan bahwa jika tindakan pemulihan tidak segera dilakukan, Pontianak akan kehilangan bagian penting dari sejarah dan identitasnya. Upaya bersama diperlukan untuk mengembalikan fungsi parit, baik sebagai sarana transportasi maupun pengendali banjir, seperti halnya di masa lalu.
Parit di Pontianak bukan sekadar saluran air. Mereka adalah bagian dari identitas kota yang dibentuk oleh alam dan manusia. Kini, tantangannya adalah bagaimana generasi modern bisa mengembalikan warisan ini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, tanpa melupakan akar sejarahnya. Sayangnya, sekarang banyak parit yang tidak lagi dimanfaatkan sesuai fungsinya. Beberapa tertutup rumput liar, sementara yang lainnya berubah menjadi saluran pembuangan sampah dan limbah rumah tangga. Kondisi ini memprihatinkan karena menghilangkan salah satu warisan penting kota ini. Jika parit-parit ini terus dibiarkan terlantar, Pontianak akan kehilangan bagian penting dari sejarah dan identitasnya. Upaya untuk mengembalikan fungsi parit sebagai sarana transportasi dan pengendali banjir perlu digalakkan kembali. Dengan langkah-langkah konservasi dan kesadaran masyarakat, diharapkan parit-parit ini bisa kembali berperan dalam kehidupan sehari-hari, seperti halnya pada masa lampau. (*) Ikuti terus cerita Pontinesia, dari Pontianak makin tahu Indonesia!
|