Bumbu dan Bubuk #AmingTheSeries
53 tahun menjelajah di jutaan lidah, rasa kopi hitam (dan kopi susu) khas Aming tak pernah berubah. Ada pahit dan manis yang bersatu. Walau pahit lebih dominan, penikmat tampak sengaja tak melebihkan gula, seimbang pun tidak.
1970 adalah tahun ketika sang ayah, Ng A Thien memulai usaha bubuk kopi. Belum ada merek yang melekat. Ia hanya menjajakan untuk orang-orang terdekat. Keluarga jadi yang pertama mengecapnya.
Bahan baku kopi didapat Ng A Thien dari Punggur, Kubu Raya. Pada masa tersebut, menanam kopi masih jadi andalan warga. Dari hasil panen, biji kopi kemudian diolah sendiri. Mulai dari proses sangrai sampai penggorengan dan kemudian berakhir dalam kemasan kaleng blek. Sampai sekarang pun demikian. Namun dipadukan dengan cara modern saat menggiling biji kopi menggunakan mesin.
Aming yang juga penikmat kopi selalu menyediakan waktu khusus untuk merawat rasa kopi. Pelatihan ketat diberikan kepada juru seduh gerainya. Bisa menelan waktu tiga sampai empat bulan. Keputusan akhir urusan Aming. Jika dinilainya sudah tepat, maka diperbolehkan bertugas jadi barista konsumen.
“Roasting dark, gelap, itu ciri khas kami. Ketika disajikan juga agak pahit,” katanya.
Berbeda zaman dengan orang tuanya, ketersediaan bahan baku kian menipis. Permintaan yang bertambah—mau tak mau—direspon segera dengan mengumpulkan pasokan bahan. Di sekitarannya masih dianggap kurang. Sehingga Aming melompat dari daerah ke daerah, mencicip satu demi satu hasil kebun terbaik nusantara. Ia menemukan satu kebun kopi yang menurutnya senada dengan ciri khas gerainya, dan pertimbangan lain: lidah orang Pontianak.
Usai ayahnya meninggal, urusan penggorengan dikaryakan. Aming mencari teman kerja yang pas. Cocok proses, cocok lidah. Pengembaraan rasa itu, berhenti di penggorengan kopi Asin. Masih tradisional. Biji kopi dipanggang bara kayu.
Olahan tradisional membuat kopi memiliki aroma asap. Berwarna agak pekat. Pasar yang semakin luas membuat produksi meningkat. Pabrik roasting dibangun di dekat batas kota. Dari sana, biji-biji kopi terbaik dihasilkan. Hasilnya dicampur dengan olahan tradisonal. Dipakaikan formula khusus, untuk menjaga rasa.
“Kami pelajari otodidak dengan pengalaman, membaca buku serta diskusi bersama teman, termasuk saran dari pelanggan,” sebutnya.
Selain lidah, mata juga jadi pertimbangan. Yang diminum harus serasi dengan apa yang dilihat. Dalam kemasan, juga di gerai-gerai, Aming menyampaikan pesan kepada penikmat dengan logo. Satu buah cangkir pernah jadi tanda keberadaan rasa Aming Coffee. Baru kemudian setelah tahun 2015, atas inisiatif seorang teman yang kebetulan senang motret, dirinya yang sedang meracik, diabadikan menjadi gambar—yang kini siluetnya menempel di mana-mana.
“Teman buat sketsa siluetnya dibikin logo bulat, ada tulisan Pontianak 1970,” ungkap Si Kurus Tinggi.
|
|