Mengukur Diri lewat Tradisi Besukat
10 September 2024 |
179 views |
CERITA KOTA | Migrasi Bugis di Kalimantan Barat tidak hanya sekadar membawa diri, keluarga, dan komunitas, tetapi juga membawa kekayaan budaya yang dimiliki. Setelah ratusan tahun berada di Kalimantan Barat, budaya yang dibawa dari Sulawesi Selatan mengalami akulturasi dengan kebudayaan Melayu, Dayak, dan Banjar hingga akhirnya melahirkan kebudayaan baru. Adapun budaya yang dimaksud yakni tradisi Besukat. Tradisi ini hidup dan berkembang di Teluk Pakedai, Kabupaten Kubu Raya. Tradisi Besukat melekat di dalam diri masyarakat Bugis. Sedari kecil anak yang lahir di bulan Safar akan melaksanakan tradisi Besukat. Pada mulanya, Besukat menggunakan lepat-lepat atau makanan yang terbuat dari ketan dan dibungkus menggunakan daun kelapa sebagai hidangan dalam prosesi ritual. Setelah anak yang mengikuti tradisi Besukat tumbuh menjadi remaja, maka makanan yang disajikan dan digunakan saat ritual berubah menjadi kue apam atau olahan pisang. Jika dari awal menggunakan apam, maka tahun-tahun berikutnya menggunakan apam sebagai makanan hidangan dan prosesi ritual. Jika dari awal menggunakan olahan pisang, maka makanan hidangan dan prosesi ritual berikutnya menggunakan olahan pisang.
Secara etinologi, tradisi Besukat diambil dari kata menyukat atau mengukur. Mulai dari mengukur tinggi, hingga mengukur depa.
Terlebih lagi, tradisi ini juga digunakan untuk mengukur sejauh mana nilai kebugisan di dalam diri seseorang, khususnya bagi masyarakat Bugis di Teluk Pakedai.
Jika tradisi ini masih hidup, setidaknya identitas Bugis di suatu daerah masih ada. (*) Ikuti terus cerita Pontinesia, dari Pontianak makin tahu Indonesia!
|