Cerita Kota

Muasal Coffee Shop Pertama di Khatulistiwa

07 April 2023

614 views

Kontributor :
Gema Mahardika
@gemmahardhika
Kontributor :
Gema Mahardika
@gemmahardhika

“Kita ngopi di Paris nih sajian kuenya itu croissant, kenapa gak orang Paris yang ngopi di kita temannya itu lapis legit? Tahun itu kita sajikan kopi dengan satu keping lapis legit dan satu cookies buat jadi temen minum kopinya,” ujarnya. 

oleh Hafidh Ravy Pramanda

AWAL MULA LA GRAMMA

Mungkin tak banyak yang ingat toko kue La Gramma. Toko ini mengawali perjalanannya di tepi jalan Tanjungpura. Tak banyak pula yang ingat, sebelum memutuskan berjualan kopi lagi di tahun 2021 lalu, La Gramma sempat menjualnya di tahun 2013 akhir, walau belum sampai setahun umurnya. 

Adalah Afryandi, pemilik dari toko kue itu. Grandma Recipe & Grandma Kopitiam adalah nama pertama yang ia gunakan sebelum diganti menjadi La Gramma karena menyangkut hak cipta.

Ko Yandi–sapaan akrabnya, menceritakan tentang hubungan dirinya dengan kopi yang dibangun atas dasar ikatan panjang. Tempat itu dibangun saat dirinya masih berkuliah di Jakarta. 

Afryandi, Owner La Gramma

“Wow ternyata kopi seperti cappucino, iced latte, itu bener bener beda, itu porsinya kecil tapi intensitasnya gila. Dulu yang jual kopi seperti itu mungkin cuma ada di Starbucks, Excelso, tapi di sana ukurannya besar 18oz, 20oz, dan susunya lebih banyak dari kopinya, tapi pas aku minum kopi di coffee shop ini itu beda aja dan bikin ‘keiket’ sampai sekarang,” kata Ko Yandi menceritakan ikatannya dengan kopi ‘specialty’.

Saat dirinya memutuskan pulang ke Pontianak, coffee shop modern adalah barang langka, bahkan bisa dibilang tidak ada. 

“Cuman kan balik ponti ga ada someting like this, di tahun segitu kalau mau ngopi ya ke warkop, paling mentok Excelso tapi di mall,” ujarnya.

KUE

Namun sebenarnya kuelah yang lebih menonjol dari usaha milik Ko Yandi. Dirinya mendapat ide usaha ini dari orang tuanya yang senang membuat lapis legit untuk dibagikan ke relasi-relasi mereka.

“Akhirnya kita coba jual online dan oke kita bikin toko lapis legit sekalian kalau ada pastrynya kita pengen ada kopi. Kopi yang specialty,” sambungnya.

Dia mendirikan toko kue yang bernama Grandma Recipe & Grandma Kopitiam di tepi Jalan Tanjungpura, akhir 2013. Karena dirinya tak mempunyai ilmu dasar meracik kopi, Ko Yandi sempat keteteran di awal tokonya berdiri. 

“Awal dulunya malah beli mesin yang otomatis seperti di kantoran, tapi setelah dicoba dua tiga bulan rasanya salah nih, gak enak, akhirnya beli mesin kopi (espresso) beneran,” katanya.

Referensi soal kopi specialty saat itu tidaklah melimpah seperti saat ini. Selain referensi, hal utama yang menunjang produksi toko kopi miliknya adalah sulitnya mencari supplier biji kopi specialty disaat marketplace daring belum berkembang pesat seperti sekarang.

“Mau pilih susu apa aja buat latte itu PR banget. Habis beli susu kita masukin ke dalam jug dan disteam, habis itu kita tuang lagi ke dalam espresso yang kita aja gak tahu itu cair banget. Pas kita coba kok gak bisa ya, kok ngambang, akhirnya setelah enam bulan dari buka pertama coba nemu susu yang pas dan bisa,” lanjutnya.

“Dan kita juga pake yang lokal robusta akhirnya. Buka gak sampe setahun, karena harus balik ke Jakarta buat selesaikan skripsi,” tuturnya. 

Kopi modern saat itu mungkin belum cocok dengan lidah orang Pontianak, namun karena toko kopi modern milik Ko Yandi adalah satu satunya yang berdiri saat itu, akan selalu ada konsumen yang datang walau tak banyak. Pasar bisa diciptakan, bukan? 

Tahun itu ialah siasat awal pemasaran kue dan kopi milik dirinya. Membuka toko kopi dan kue adalah impiannya. 

“Kita ngopi di Paris nih sajian kuenya itu croissant, kenapa gak orang Paris yang ngopi di kita temannya itu lapis legit? Tahun itu kita sajikan kopi dengan satu keping lapis legit dan satu cookies buat jadi temen minum kopinya,” ujarnya. 

“Syukurnya saat 2021 dapat rezeki kita bisa comeback buka lagi di sini. Tempatnya besar jadi orang bisa menikmati kopi sambil makan kue yang jadi impian saya,” ungkapnya. 

Ko Yandi berpendapat, pasar dan perilaku orang Pontianak dalam meminum kopi sekarang sudah sangat berubah. Dulu orang cenderung minum kopi harus hitam dan pahit.

KEMERDEKAAN NGOPI

Maklum saja, orang Pontianak memang hobi meneguk kafein. Dan bertahun-tahun mereka meneguknya di kedai-kedai kopi tradisional. “Dengan biji kopi yang diroasting dark biar ngeluarin baunya. Tipikal kopi tradisional banget yang diseduh dengan air 100 derajat,” katanya. 

Kebiasaan yang terhitung lagi tahunnya itu membuat stereotip tersendiri tentang bagaimana seharusnya kopi disajikan. Orang Pontianak suka mencium aroma biji robusta yang diroasting sampai gelap, aroma karamelisasi kopi. 

“Kita sekarang pakai beans full arabica dan kita roasting sendiri. Masih ada konsumen yang nanyain kenapa rasanya gak sepekat kopi di warkop tradisional, karena stereotip rasa kopi itu tadi yang sudah melekat banget sama orang Pontianak itu ga bisa diubah. Tapi akhirnya kita sediakan juga dark roast robusta,” agar orang bisa minum kopi se-merdeka mungkin, tanpa batasan batasan soal bagaimana dan seharusnya. 

Meledaknya tren kopi susu seperti Janji Jiwa, Lokale, dan lain-lain berperan penting dalam ‘merubah’ stereotip itu. Menurut Ko Yandi, mereka berhasil juga mengenalkan pengalaman minum kopi yang tak melulu harus di tempat yang ramai seperti warkop tradisional, namun bisa juga di tempat yang cantik dan nyaman. 

Melihat perkembangan itu, pelan-pelan kita di Pontianak bisa bebas lepas memilih kopi mana yang kita suka, tempat apa yang kita ingin tongkrongi. Semuanya adalah soal preferensi. Merdekalah saat meminum kopi.
---
Editor: Gema




Top