Diskusi Lintas Iman di Pontianak: Merayakan Toleransi dalam Fenomena War Takjil
CERITA KOTA | Fenomena war takjil jadi tren di Ramadan 2024. Orang-orang merayakan keberagaman iman dengan suka cita. Media sosial membuatnya gempita. Mengingatkan kembali bagaimana interaksi antarumat beragama, sebelum politik identitas mengaburkan semua. Untuk merayakan fenomena toleransi tersebut, Suar Asa Khatulistiwa—sebuah organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam isu kebhinekaan, kedamaian, demokrasi, kepemimpinan, kemandirian serta Hak Asasi Manusia (HAM) di Kalimantan Barat, menyelenggarakan diskusi “Kilas Balik Fenomena War Takjil dan Toleransi Lainnya Pascaramadan dan Lebaran 2024” di Sekretariat mereka di Jalan Gusti Hamzah, Gang Nur V, Sabtu (4/5/2024). Dalam diskusi, Wakil Sekretaris PWNU Kalbar Budiono bercerita, fenomena war takjil bukan hal baru. Namun keberadaan media sosial memang membuatnya semakin riuh. Hal ini pun patut dirayakan. Alasannya, dewasa ini banyak pergeseran nilai yang memudarkan toleransi. Dia mencontohkan, ketika kanak-kanak, Budiono kecil terbiasa berteman dengan lintas agama. Mereka pun saling mengucapkan dan berkunjung saat hari raya. Sesuatu yang biasa, namun kini justru dilarang kelompok-kelompok tertentu. Selain Budiono, ada pula Suster Magdalena Paula dari Rumah Belas Kasih. Keduanya berbagi kisah dengan para komunitas pegiat sosial dan keberagaman di Kota Pontianak. Suster Magdalena memiliki kenalan seorang muslim dalam sebuah perjalanan dengan kapal. Dia pun melihat langsung keseharian penganut Islam selama berhari-hari dan berhubungan baik dengan orang tersebut. Setelah lebih 20 tahun tak bertemu, orang itu masih mengingatnya. Menyapanya hingga dia terperanjat. 
Suster Magdalena terharu. Perjumpaan dengan orang Islam, membuatnya memiliki koneksi baik dengan umat muslim. Apalagi dia tumbuh di lingkungan homogen sejak kecil. “Fenomena ini (war takjil) merupakah hal yang penting untuk dirayakan. Di mana adanya relasi tolong-menolong dalam ekonomi antarumat beragama. Apalagi takjil yang dibeli biasanya bukan hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk membantu orang lain,” katanya. Apa yang disampaikan para narasumber, diamini Koordinator SAKA Doni Chairullah. War takjil layak dibicarakan kembali, sebagai penanda suka cita dalam toleransi. “Acara ini penting untuk diselenggarakan sebagai upaya merayakan fenomena toleransi di tengah maraknya fenomena penyempitan identitas,” sebutnya. 
Doni merujuk data Setara Institute yang menyatakan lima tahun terakhir indeks toleransi di Indonesia stagnan atau jalan di tempat. “Fenomena ini juga sekaligus menjadi upaya menormalisasi saling bercanda dan melemparkan gurauan antaragama tanpa resistensi yang negatif,” katanya. (*) Ikuti terus cerita Pontinesia, dari Pontianak makin tahu Indonesia! Foto: @suarasakhatulistiwa
|