Cerita Kota

Makanan Cepat Saji dan Makanan Olahan

1 Oktober 2025

112 views

Kontributor :
Local Creators
@localcreators.id
Kontributor :
Local Creators
@localcreators.id

MESKI banyak kenikmatan yang kita rasakan dari makanan cepat saji, sering kali orang melupakan kecukupan gizi yang sebenarnya sangat penting untuk kesehatan jangka panjang. Banyak yang tidak menyadari bahwa makanan cepat saji secara perlahan merusak kesehatan, karena mengandung lebih banyak garam dan gula daripada yang dibutuhkan tubuh dalam satu hari penuh (secara diam-diam meningkatkan risiko penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan diabetes) (Hawkes, 2006).

Sebuah studi di Singapura menunjukkan bahwa mengonsumsi makanan cepat saji secara rutin berkaitan dengan kualitas gizi yang buruk, asupan nutrisi yang tidak memadai, serta peningkatan obesitas perut (Whitton dkk., 2014). Sebagian besar makanan cepat saji dibuat dari bahan ultra-olahan yang sarat dengan pengawet, perisa buatan, dan bahan kimia yang sebenarnya tidak dirancang untuk dicerna tubuh (Monteiro dkk., 2019). 

Memang, makanan ini bisa mengenyangkan sesaat, tetapi tidak memberikan “gizi nyata.” Dalam jangka panjang, kebiasaan mengonsumsi “kalori kosong” membuat banyak orang kelebihan energi tetapi kekurangan nutrisi, sehingga tubuh tidak mendapatkan serat, vitamin, dan mineral yang dibutuhkan untuk benar-benar sehat (Srour dkk., 2019).

Makanan cepat saji kini menjadi bagian besar dari kehidupan sehari-hari, tetapi promosi yang terus-menerus telah menimbulkan masalah serius yang sering luput dari perhatian. Salah satu masalah utama adalah meningkatnya penyakit seperti obesitas, diabetes, dan penyakit jantung, terutama pada anak-anak dan keluarga berpenghasilan rendah, khususnya di negara berkembang (Popkins dkk., 2012), di mana rata-rata upah lebih rendah dibandingkan dengan negara maju (Li dkk., 2020). 

Iklan makanan cepat saji sering menampilkan makanan yang tidak sehat seolah-olah segar atau sehat, sehingga membuat masyarakat bingung tentang apa arti gizi yang sebenarnya.

Seiring waktu, hal ini juga mengubah pola makan kita, dari masakan rumah yang sehat menjadi makanan cepat saji dalam porsi kecil yang lebih mengutamakan rasa daripada gizi. Di Indonesia, tren global ini sudah terlihat jelas. 

JUAL - Sebuah warung menjual makanan kemasan dan cepat saji di Kapuas Hulu. HARDIYANTI  

Negara ini menghadapi beban gizi ganda: sekitar satu dari tiga anak di bawah usia lima tahun mengalami stunting, sementara hampir setengah orang dewasa mengalami kelebihan berat badan atau obesitas (Nurwanti dkk., 2019). Chao (2022) menggambarkan bagaimana pembangunan agroindustri dan warisan kolonial melemahkan pola makan masyarakat adat serta memperkenalkan sistem makanan olahan. 

Namun, beberapa komunitas pedesaan masih bertahan dengan pola makan tradisional berbasis sumber daya lokal dari lingkungan mereka. Kontras ini menegaskan pentingnya melindungi dan mempromosikan praktik makanan tradisional demi kesehatan masyarakat dan ketahanan komunitas.

Apa Itu Makanan Slow-Processed?

Berbeda dengan makanan cepat saji dan makanan olahan pabrikan, metode pengolahan tradisional seperti fermentasi dan pengasapan menawarkan alternatif yang sarat nilai budaya sekaligus menyehatkan. Fermentasi meningkatkan keamanan pangan, ketersediaan nutrisi, serta kesehatan usus melalui aktivitas probiotik (Siddiqui dkk., 2023). Selain itu, produk ikan asap merupakan makanan bergizi siap saji yang dihargai karena rasa dan tampilannya, sementara kombinasi panas, pengeringan, penggaraman, dan asap membantu mengurangi pembusukan serta pertumbuhan bakteri berbahaya (Belichovska, 2019).

Proses perlahan ini menghasilkan makanan yang lezat dan bergizi tanpa bergantung pada bahan kimia sintetis atau mesin industri. Praktik ini juga bisa dikategorikan sebagai bagian dari Slow Food. Falsafah ini menjadi inti gerakan Slow Food global, yang berdiri di Italia pada 1986 sebagai respons terhadap meningkatnya makanan cepat saji. 

Slow Food mempromosikan makanan yang “baik, bersih, dan adil,” dengan mendorong keanekaragaman hayati, pertanian ekologis, serta sistem pangan yang berkeadilan (Fader dkk., 2022).

Dengan jaringan di lebih dari 160 negara, gerakan ini mendukung produsen lokal, melindungi makanan tradisional yang terancam punah, serta mendorong pendidikan pangan dan perubahan kebijakan untuk membentuk kembali sistem pangan global menuju keberlanjutan. Salah satu contoh Slow Food di Indonesia dapat ditemukan di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. 

Nilai Slow Food tercermin dalam praktik tradisional pengawetan ikan yang digunakan oleh masyarakat Iban. Praktik ini mencakup fermentasi (pekasam) dan pengasapan (salai) untuk menyimpan ikan air tawar tangkapan liar, meningkatkan cita rasa dan nilai gizi sekaligus melestarikan warisan budaya (Agustini & Swasto, 2023). Praktik ini mencerminkan sistem pangan yang tidak hanya tangguh dan ramah lingkungan, tetapi juga berakar kuat pada identitas lokal. Dalam artikel ini, kita akan membahas praktik pengawetan makanan melalui fermentasi dan pengasapan.

Pekasam

Pekasam adalah hidangan ikan fermentasi tradisional yang biasanya dibuat dari ikan air tawar seperti nila dan lampam. Prosesnya dimulai dengan membersihkan ikan untuk menghilangkan lendir, kotoran, dan bau tidak sedap. Setelah itu, ikan dilumuri garam untuk mengurangi kadar air, mencegah pembusukan dini, serta menciptakan lingkungan yang sesuai bagi mikroba baik untuk tumbuh sambil menstabilkan protein ikan (Ezzat dkk., 2021).

PEKASAM - Pekasam siap saji dari proses fermentasi ikan di Kapuas Hulu. HARDIYANTI

Setelah penggaraman, ikan disusun dengan beras sangrai yang sudah dihaluskan, gula merah, dan buah asam seperti asam jawa. Bahan-bahan ini bukan hanya menambah cita rasa, tetapi juga memicu proses fermentasi. Beras sangrai menyediakan karbohidrat bagi mikroba, memberikan aroma gurih, serta membantu mengurangi bau amis yang kuat (Muryany dkk., 2017). Fermentasi biasanya berlangsung dua hingga lima minggu, tergantung ukuran ikan, dengan ikan yang lebih besar memerlukan waktu lebih lama. Selama periode ini, enzim alami dari ikan dan mikroba memecah protein menjadi peptida dan asam amino yang lebih kecil, sehingga meningkatkan tekstur dan cita rasa.

Secara nutrisi, pekasam dihargai karena kandungan asam lemak omega-3, khususnya EPA dan DHA, yang baik untuk kesehatan jantung dan otak. Kandungan ini tetap terjaga karena proses fermentasi tidak menggunakan panas tinggi. Fermentasi juga meningkatkan sifat antioksidan pekasam melalui senyawa bioaktif yang membantu menetralkan radikal bebas dan mengurangi stres oksidatif, faktor yang terkait dengan penuaan dan penyakit kronis (Cha & Yu, 2024). Bakteri asam laktat (BAL), terutama Lactobacillus plantarum dan L. pentosus, menjadi kunci dalam proses fermentasi. 

Mereka mengubah gula menjadi asam laktat, menurunkan pH untuk menghentikan mikroba berbahaya, mengawetkan ikan, sekaligus memberikan manfaat probiotik. Probiotik ini mendukung kesehatan pencernaan, mengatur sistem kekebalan tubuh, serta dapat membantu mengurangi risiko infeksi, peradangan, dan masalah metabolik maupun kesehatan mental (Amin dkk., 2025).

Meski demikian, fermentasi harus dilakukan dengan hati-hati. Kondisi yang buruk dapat memungkinkan bakteri berbahaya menghasilkan amina biogenik seperti histamin dan tiramin, yang dapat menimbulkan reaksi alergi atau sakit kepala. Namun, penelitian menunjukkan bahwa pekasam yang diolah dengan baik umumnya memiliki kadar senyawa ini lebih rendah dibandingkan produk ikan fermentasi lainnya, sehingga relatif aman dikonsumsi (Khudair dkk., 2023).

Salai

Salai bukan sekadar metode memasak. Ia adalah simbol hidup dari keterikatan mendalam masyarakat Iban dengan alam, kelangsungan hidup, dan kebersamaan. Apa yang awalnya hanya cara praktis untuk mengawetkan ikan di iklim lembap Borneo, kini berkembang menjadi bagian penting dari tradisi: sekaligus warisan leluhur dan bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Bagi masyarakat Iban dan komunitas Dayak lain di sepanjang sungai Sarawak dan Kalimantan Barat, ikan selalu menjadi sumber protein yang andal sepanjang tahun. Jauh sebelum adanya lemari pendingin atau pasar modern, salai menjadi cara terpercaya untuk memperpanjang masa simpan ikan sungai dan memastikan persediaan makanan di musim berikutnya. Kata “salai” sendiri berarti “mengasapi” atau “memanggang,” mencerminkan keterampilan mengolah api dan kayu yang mengubah ikan segar menjadi hidangan tahan lama.

SALAI - Ikan salai yang dijual di warung-warung di kawasan Kapuas Hulu. ALEXANDER POMPER

Prosesnya dilakukan dengan perlahan. Ikan segar seperti jurung, baung, atau tamban dibersihkan, digarami, dan dikeringkan sebentar sebelum diasapi di atas api kayu keras atau mangrove. Proses pengasapan bisa berlangsung dari beberapa jam hingga dua hari, seperti pada ikan tahai yang terkenal dari Lawas. Hasilnya adalah ikan berwarna keemasan dengan aroma asap yang khas, yang dapat disimpan berminggu-minggu tanpa pendinginan.

Walau penelitian khusus tentang salai masih terbatas, studi mengenai ikan asap secara umum menyoroti manfaat gizi dan daya awet yang penting. Mielcarek dkk. (2020) menemukan bahwa ikan asap biasanya memiliki kandungan protein lebih tinggi daripada ikan segar atau ikan acar, meskipun kadar garamnya juga meningkat karena proses penggaraman dan pengasapan. 

Demikian pula, Kiczorowska dkk. (2019) melaporkan bahwa pengasapan meningkatkan kadar protein kasar dan abu, serta menurunkan lemak dan beberapa mineral pada ikan air tawar maupun laut. Di Ambon, misalnya, ikan cakalang asap tradisional terbukti mengandung sekitar 31,97 persen protein, 4,38 persen lemak, dan 173 kalori per 100 gram, menjadikannya sumber protein pangan yang berharga (Rieuwpassa dkk., 2023).

Selain nilai gizi, pengasapan juga menghambat pertumbuhan bakteri melalui panas dan pengeringan, serta menghasilkan senyawa antimikroba dan antioksidan seperti polifenol, senyawa karbonil, dan asam organik dari asap. Senyawa ini menghambat aktivitas mikroba dan mengurangi pembusukan, sementara efek dehidrasi dari asap menurunkan kadar air yang tersedia bagi bakteri, sehingga memperpanjang umur simpan dan meningkatkan keamanan pangan (Hagos, 2021).

Namun, salai lebih dari sekadar ikan awetan. Ia juga menjadi makanan penghibur, sesaji dalam upacara, bahkan obat tradisional. Ikan asap digunakan dalam masakan nostalgia seperti sup terung Dayak, serta menjadi bagian penting dalam pesta panen, pernikahan, dan perawatan pascamelahirkan, di mana kehangatan dan kemurniannya diyakini membantu pemulihan. Dari sisi ekonomi, salai menopang usaha rumahan dan pasar lokal. 

Dari sisi sosial, ia mempererat ikatan komunitas melalui tradisi memberi dan makan bersama. Bagi banyak masyarakat Iban di perkotaan, rasa salai mengingatkan mereka pada kampung halaman, sungai, dapur rumah panjang, dan para tetua yang menjaga api.

IKAN ASIN - Salah satu bentuk pengawetan makanan secara tradisional di Kalimantan Barat. ALEXANDER POMPER

Tantangan dan Masa Depan Sistem Pangan Tradisional

Meski memiliki nilai kesehatan dan budaya, tradisi seperti pekasam dan salai kini menghadapi tantangan besar di Indonesia. Perubahan selera dan globalisasi membuat generasi muda lebih sering memilih makanan cepat saji atau instan dibandingkan resep tradisional yang memakan waktu. Urbanisasi dan migrasi juga menyulitkan generasi tua untuk mewariskan pengetahuan mereka, sehingga keterampilan mengolah tradisi ini terancam hilang.

Di banyak daerah, berkurangnya stok ikan liar semakin mengancam praktik tersebut. Komunitas lokal kerap harus mengandalkan ikan budidaya yang dianggap kurang beraroma dan kurang terkait dengan warisan budaya. Namun, berbagai upaya baru mulai bermunculan untuk melindungi dan menghidupkan kembali warisan kuliner. 

Yayasan dan koki mendokumentasikan resep yang hampir punah, sementara koperasi anak muda dan festival makanan membantu memperkenalkan kuliner tradisional ke khalayak yang lebih luas. Dengan mengadaptasi masakan warisan ke format modern serta melibatkan generasi muda, inisiatif-inisiatif ini berupaya menjaga identitas kuliner Indonesia tetap hidup di tengah perubahan dunia yang cepat.

Dalam masyarakat yang dibentuk oleh kenyamanan dan kepuasan instan, metode tradisional seperti pekasam dan salai menawarkan alternatif yang kuat. Tradisi ini berakar pada kesehatan, warisan, dan keberlanjutan, mencerminkan budaya makan yang menghargai waktu, perhatian, dan kebersamaan dibandingkan kecepatan dan keseragaman. Falsafah ini sangat sejalan dengan gerakan Slow Food yang mendorong makanan “baik, bersih, dan adil,” serta mendukung keanekaragaman hayati, tradisi lokal, dan produsen skala kecil.

Penggunaan fermentasi dan pengasapan oleh komunitas seperti Iban menunjukkan bahwa makanan dapat berfungsi lebih dari sekadar pengganjal lapar. Metode ini memperpanjang masa simpan, meningkatkan nilai gizi, dan melestarikan identitas budaya. Lebih dari manfaat praktis, ia menawarkan alternatif bermakna terhadap sistem pangan industri yang serba olahan. Saat dunia menghadapi tantangan ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat, merangkul praktik Slow Food seperti pekasam dan salai tidak hanya memperkuat hubungan kita dengan makanan, tetapi juga membangun sistem pangan yang lebih tangguh dan berakar pada budaya. (*)

Penulis, Ditro Wibisono Wardi Parikesit

Ikuti terus cerita Pontinesia, dari Pontianak makin tahu Indonesia!




Top