Cerita Kota

Tangan Dingin Aan Dibalik Ekspansi Aming

9 Juni 2023

532 views

Kontributor :
Gema Mahardika
@gemmahardhika
Kontributor :
Gema Mahardika
@gemmahardhika

#AmingTheSeries | EPISODE 7

Sesaat, Sunarto (43) tampak seperti orang biasa yang sedang mengetik laporan di laptop. Ketika ditelepon, ia juga layaknya orang kebanyakan; tidak menunggu waktu lama menyambut suara di seberang, meski sedang bekerja. Aan–sapaan akrabnya–mudah tersenyum kepada siapapun. Sulit bagi awam mendeteksi, jika Aan adalah orang penting di sebuah perusahaan besar.

Aan adalah direktur utama PT Aming Indonesia. Perusahaan yang kini menaungi ribuan karyawan serta 25 gerai Aming Coffee.

Pribadi yang hangat, jadi modal utamanya menjadi orang penting. Namun yang paling penting, dirinya mudah membuat orang lain di dekatnya merasa penting. Skil yang memudahkan langkah kakinya, walau mendaki gunung terjal. Melalui letupan-letupan negosiasi dengan tenang. Memastikan segudang inovasi dan ide brilian perlahan dieksekusi.

Jauh sebelum jadi direktur, ia sudah sukses mental. Melawan dirinya sendiri dengan manajemen waktu, berlapang dada pada setiap kemungkinan, dan tidak menyerah meski target belum tercapai. Bukan karena berambisi, tetapi sudah punya peta bisnis.

“Suatu hari saya ingin menjalankan bisnis food and beverages,” tuturnya mengenang impian pertama kali usai malang melintang di bisnis lain, kepada Pontinesia, di outlet Aming Coffee Gaia Mall Kabupaten Kubu Raya, belum lama ini.

Mewujudkan mimpi itu, Aan merantau. Bagi budak Pontianak yang terbiasa bolak-balik Jakarta, mungkin luar negeri bukan opsi utama. Namun tidak demikian dengannya. Sydney, Australia menjadi pilihan. Tepatnya di tahun 1998, 20 tahun sebelum ia menjadi direktur, terbanglah tubuhnya bersama impian ke tempat yang belum pernah dikunjungi. Dunia yang dahulu hanya disaksikannya lewat televisi.

Dunia itu, salah satu restoran di Sydney. Sekian tahun hidup dijalaninya sebagai juru masak. Segala jenis kuliner dipelajari Aan. Baik kuliner khas timur hingga khas barat. Ia paham betul perbedaan keduanya.

Hari berlalu, bulan berganti. Saking asyiknya, ia hampir lupa dengan kampung halamannya, Pontianak. Dari negeri kangguru itu, ia sudah memantapkan hati untuk menetap. Masih banyak ilmu yang harus dilengkapi. Ilmu bisnis maupun ilmu memasak.

Silaturahmi masih terjaga. Berbalas pesan dengan keluarga jadi rutinitas. Banyak surat dan telepon mengarah ke alamatnya. Dan salah satu kabar dari rumah datang. Sang kakak akan menikah. Keluarga harus jadi prioritas, maka pulanglah Aan.

“Tadinya saya pikir akan pulang lagi ke Australia. Ternyata bisnis yang sedang berkembang di Jakarta memikat hati saya. Kakak saya ajak gabung untuk bisnis di Tanah Abang, katanya lagi bagus. Setelahnya saya kumpulkan modal, lalu jalan. Waktu itu usia saya masih 22 tahun,” terangnya berkisah.

Usaha pertama yang digeluti Aan justru bukan seperti yang diinginkan. Industri garmen adalah gerbang awal rangkaian urusan yang dikelolanya hingga kini. Urusan-urusan itu memang mendatangkan keuntungan. Namun prinsip bisnisnya fokus kepada membangun manusia dari dalam. Karyawan, manajer dan semua yang terlibat, dilatih untuk menjadi pemimpin dan mandiri sedini mungkin. Itu yang membuat Aan berbeda dari pebisnis lainnya. Keuntungan baginya adalah alat untuk mengembangkan bisnis baru. Ia memiliki segudang inovasi, tidak hanya dari segi produk, tapi juga sistem manajemen perusahaan.

“Saat pulang ke Pontianak saya ngomong sama anak-anak di Pontianak. Setelah ngobrol, saya paham, kalau mereka tidak punya resources, tidak punya kesempatan dan tidak tahu caranya. Sedangkan di industri, yang cepat maju adalah mereka yang paham caranya dan memiliki kesempatan,” ungkapnya berbagi kisah awal mula terbentuknya Aming Coffee modern.

2018, Aming Coffee

Aan sudah lama mengenal Limin Wong atau Aming. Pertemanan mereka telah berjalan sejak kanak-kanak. Rumahnya berdekatan, pergi sekolah pun berangkat dari arah yang sama. Ia dan Aming berbagi keakraban bukan cuma soal bisnis, tetapi persahabatan. Semangat itu tidak berubah bahkan setelah keduanya sempat terpisah lama karena Aan yang merantau ke luar negeri.

Diluncurkannya Transmart Kubu Raya di tahun 2018, jadi magnet reuni kedua sahabat lama ini. Setelah beberapa kali Aan menyarankan Aming untuk memperbesar cakupan bisnis Aming Coffee, akhirnya momen peluncuran Transmart Kubu Raya dimanfaatkan. Aming Coffee mendapat jatah tempat di sana.

“Saya bilang sama Koh Aming kalau Aming Coffee harus bisa berkembang. Kemudian beliau datang dengan kabar baik, undangan dari Transmart untuk membuka lapak Aming Coffee,” terangnya.

Batu loncatan transformasi Aming Coffee itu kemudian dikabarkan kepada Aan oleh Aming sendiri. Modernisasi perusahaan memerlukan kecakapan dan kepercayaan. Nama Aan yang pertama kali muncul di kepala Aming setelah undangan itu dibaca. Wajar saja, karena ia adalah orang yang tepat untuk kesempatan ini. Pekerjaan yang diimpi-impikannya, yang ia dalami sejak muda dan dengan wawasannya, Aming yakin–Aming Coffee bisa mengembangkan sayap ke lapisan yang lebih tinggi.

Walau keyakinan Aan justru berkebalikan. Ada beban moral yang dirasanya mengepung. Inovasi yang sudah ia siapkan memang tepat. Tetapi bagaimana garis rezeki? Itu yang dikhawatirkan. Optimisme di awal dikerumuni keragu-raguan. Bagaimana jika begini, bagaimana jika begitu? Pikirannya terpenuhi, tidur pun terganggu selama beberapa malam.

Namun di saat bersamaan, bisikan positif juga terus singgah di kepala. Betapa, menurut Aan, secara identitas, Aming Coffee punya karakter yang amat kuat. Tugasnya adalah mengemas identitas itu, menyebarkannya seluas mungkin.

Berbekal pengalaman dan wawasan bisnis, Aan pun memulai. Rekrutmen karyawan dilakukan. Lokasinya saat itu di Aming Coffee, Jalan Haji Abbas, Kelurahan Benua Melayu Darat, Kecamatan Pontianak Selatan. Mereka yang terpilih adalah tim pertama Aming Coffee modern.

“Menurut saya yang pertama kali dikembangkan adalah konsepnya. Warung kopi di negara tetangga sudah banyak yang go internasional. Konsep yang kita gunakan harus bisa menggapai seluruh lapisan, khususnya go internasional,” jawab Aan saat ditanya hal pertama yang harus dikembangkan.

Yang kedua adalah memberikan kesempatan dan cara kepada tim Aming Coffee. Mereka berhak menerima wawasan lebih lanjut soal bisnis yang baik dan berpotensi berkembang cepat. Kerinduan Aan dengan Pontianak juga mendorongnya memilih anak-anak Pontianak sebagai karyawan. Sumber daya manusia jadi faktor penting mencapai tujuan utama. Setiap gerai harus memiliki store manager. Mereka dilatih sampai ke Jakarta. Akomodasi dan transportasi ditanggung perusahaan. Aan, selayaknya meracik kopi–terjun membentuk individu setiap store manager.

“Kita latih mulai dari materi, mental dan mindset. Setelahnya, kita utus ke store masing-masing,” imbuhnya.

Jalan panjang terbentang untuk ditempuh bersama. Paham tentang tantangan-tantangan yang akan dihadapi, semua tim dibekali. Tujuannya untuk menyamakan persepsi. Visi dan misi searah. Urusan dari dalam harus cepat selesai, sehingga tantangan dari luar akan memperkuat kebersamaan. Dan itu terbukti. Selang dua tahun berjalan, pandemi covid menyerang. Akibatnya, ribuan bisnis serupa tutup. Bahkan bisnis yang tidak berhubungan dengan orang ramai pun, gulung tikar. Ini menjadi tantangan pertama Aming Coffee modern.

Dari karyawan, manajer hingga Aan, kebingungan. Belum pernah dalam hidup mereka mengalami peristiwa hebat ini. Virus corona, si kecil berkerumun, memutar balik otak Aan dan Limin.

Ketenangan amat diperlukan saat situasi serupa menimpa. Ia lalu mengumpulkan seluruh karyawannya. Saat itu setiap orang sudah siap untuk kemungkinan terburuk. Tapi Aan hanya menawarkan satu pilihan: bertahan.

“Ibarat winter, daun dan cabang dari pohon akan runtuh. Tapi tidak dengan akar. Kami sudah punya akar, covid menyerang jadi winternya. Beberapa hal akan, tapi tidak dengan Aming Coffee,” ucapnya.

Literasi Bisnis dan Kopi

Darimana Aan mendapatkan ide tentang bisnis serupa? Bagaimana dirinya mencampurkan budaya ngopi ala Pontianak sehingga bisa dinikmati masyarakat Indonesia? Semua itu tidak muluk-muluk tiba. Formula demi formula ia serap. Khususnya tentang coffee shop.

“Ada dua referensi, dari eastern dan western,” katanya.

Dari eastern, banyak kedai kopi yang menjelma restoran karena banyaknya jenis makanan yang ditawarkan. Sedangkan dari western, dirinya mengambil contoh Starbucks. Di sana hanya menawarkan kopi tanpa comfort food. Tidak sedikit ditemukannya coffee shop western tidak memiliki dapur karena hanya menyediakan minuman. Dari eastern dan western itu, ia mencoba menutup kekurangan. Aming Coffee, adalah gabungan dari kelebihan kedua referensinya. Menguatkan identitas kopi serta menyediakan makanan.

“Di western, kalau orang selesai meeting mau makan, harus pindah lagi. Sedangkan di eastern, makanannya lengkap, saking banyaknya identitas kopi tertutupi. Nah saya mencoba mix keduanya. Aming Coffee identitas kopi, tapi ada comfort food, ” papar Aan.

Ternyata menurut Aan, ide adalah pondasi sebuah bisnis. Keberanian mengeluarkan modal besar, kesabaran menghadapi hadangan dan segala tantangan bisnis itu, didasari satu ide. Tanpa ide yang inovatif, bisnis kesulitan mencari arah. Perjalanan yang panjang harus memiliki tujuan. Namun tujuan tanpa semangat juang juga hampa. Itu yang diyakininya.

“Pesan saya buat anak-anak Pontianak yang ingin memulai bisnis, matangkan konsepnya dulu. Lalu dorong pembangunan manusianya. Berusaha untuk terus berkembang mengikuti maunya market, bukan apa yang kita mau,” pungkasnya.




Top