Cerita Kota

Memulas Rindu di antara Kerikil dan Ingatan Masa Kecil

1 Agustus 2025

226 views

Kontributor :
Katekuchan
@arasyahh.a
Kontributor :
Katekuchan
@arasyahh.a

CERITA KOTA | Antara riuh masa kini yang kian gemar mengetuk layar, terselip sunyi permainan lama yang dulu pernah mengetuk jiwa. Batu-batu kecil yang berserak di lantai bukan sekadar kerikil biasa, melainkan penanda waktu, pengikat kenangan, dan penjaga warisan yang nyaris terlupa.

Akrab dikenal dengan nama permainan Batu Lima di Pontianak, salah satu permainan tradisional ini masih dimainkan oleh anak-anak di berbagai wilayah di Indonesia dengan berbagai nama, jenis, dan peraturan yang berbeda pula tergantung tempatnya.

Batu Seremban, nama umumnya, menurut KBBI yang berarti permainan anak-anak dengan menggunakan biji (asam, sawo, sirsak, dan sebagainya) atau batu yang digenggam lalu dibuang ke atas, ditadah oleh punggung tangan, dilemparkan lagi ke atas ditadah oleh telapak tangan dan seterusnya.

Di Pontianak sendiri, permainan ini dimainkan oleh dua orang hingga lebih secara bergilir, menggunakan lima buah batu kecil. Permainan terdiri dari beberapa tingkatan, mengambil satu sampai keempat buah. Hingga tahap ke lima dilakukan dengan menyentuh lantai sambil tetap melempar dan menangkap batu. Kemudian bagian akhir, melempar seluruh batu ke udara dan menangkapnya dengan punggung tangan, lalu dilempar lagi dan ditangkap dengan telapak tangan, atau sering disebut “tampik”. Hasil dari tampik inilah yang menjadi jumlah tabung dari pemain, yang kemudian menentukan pemenangnya.

Sedangkan di daerah Sanggau, lebih tepatnya di Desa Bungkang, Kecamatan Sekayam, permainan ini disebut Batu Angkok. Berbeda dengan permainan Batu Lima, Batu Angkok dimainkan dengan tujuh buah batu dan beberapa tahapan berbeda.

Diawali sama dengan cara bermain umumnya, yaitu “tampik” bergilir untuk menentukan urutan pemain, siapa yang berhasil menangkap batu lebih banyak itulah yang pertama bermain. Lalu kemudian masih sama, dimulai dengan menangkap satu batu, berlanjut sampai ke empat.

Perbedaan kemudian terlihat di tahapan ke lima, ketujuh batu dilempar menyebar ke lantai, dengan telapak tangan yang direnggangkan diletakkan di sebelahnya. Selanjutnya, pemain memilih satu batu untuk dilempar, sembari tangan di bawah membawa masing-masing batu ke sela jari, totalnya ada empat buah. Setelah empat batu sudah berada di sela-sela jari, pemain kemudian melempar satu batu itu lagi, lalu mengambil dua buah batu yang tersisa. Selanjutnya, tahapan ini diakhiri dengan merapatkan jari-jari yang terdapat batu di sela-selanya tadi agar bisa diambil tanpa boleh terjatuh satu batu pun.

Keenam, pemain kemudian membagi tujuh batu di dalam dua tungkupan tangan, untuk ditebak pemain lain, khususnya untuk orang yang bermain setelahnya. Jika tebakan benar maka pemain kalah, jika tebakan salah, maka pemain bisa lanjut ke tahap berikutnya.

Tahap terakhir, sama seperti permainan Batu Lima di mana ronde satu diselesaikan dengan tampik. Bedanya, hasil tampik dalam Batu Angkok tidak digunakan sebagai jumlah tabung pemain. Asalkan pemain bisa menangkap batu dari telapak ke punggung tangan, jumlah batu saat di punggung tangan harus sama dengan jumlah akhir saat ditangkap kembali menggunakan telapak tangan, maka pemain bisa lanjut ke ronde selanjutnya. 

Ronde dimulai dengan menyebutkan, “Tabung satu.” Karena dalam Batu Angkok, yang dihitung sebagai tabung adalah jumlah ronde yang sudah dilalui pemain, bukan hasil tampik seperti di permainan Batu Lima.

Permainan Batu Angkok maupun Batu Lima adalah bagian dari warisan budaya lokal yang menyimpan nilai-nilai penting seperti ketangkasan, strategi, kebersamaan, dan tradisi lisan. Meski sederhana, setiap gerakan dan aturan dalam permainan ini mencerminkan kekayaan pengetahuan lokal yang diwariskan turun-temurun. Melalui cerita-cerita kecil dari desa hingga kota, kita bisa terus menghidupkan kembali permainan yang pernah mewarnai masa kecil banyak orang, dan mengenalkannya kepada generasi baru sebagai bagian dari kekayaan kearifan lokal Indonesia. (*)

Ikuti terus cerita Pontinesia, dari Pontianak makin tahu Indonesia!




Top