Proyek Seni: Kabung dan Upaya yang Melampaui Esok
oleh: Gusti Enda Prolog: Sebuah Pulau di Persimpangan Zaman Pulau Kabung adalah mikrokosmos dari paradoks kemajuan: sebuah pulau yang menyimpan kekayaan budaya dan ekologis, sekaligus menghadapi ancaman pelupaan, migrasi, dan tekanan kapitalisme global. Proyek seni ini lahir dari kegelisahan atas rapuhnya pengetahuan lokal yang tidak terdokumentasi, upaya membuka ruang dialog tentang keberlanjutan budaya. Dan seni tidak hanya menjadi medium ekspresi, tetapi juga alat transformasi sosial. Laut di sekitar Pulau Kabung bukan sekadar kumpulan air asin yang membentang di pesisir Kalimantan Barat, tetapi juga arsip hidup yang menyimpan ingatan tentang nilai-nilai tradisi lewat gotong royong, kebersamaan, dan solidaritas, tentang nelayan yang berjuang melawan gelombang, tentang laut yang menjadi penghubung antara manusia dan alam. Di tengah riuh rendah modernisasi yang menggempur setiap sudut Nusantara, Pulau Kabung berdiri bagai benteng terakhir yang masih mempertahankan fragmen-fragmen kebudayaan yang mulai retak. Ia bukan hanya sekadar titik geografis, melainkan sebuah ruang hidup yang menyimpan cerita tentang berbagai etnis, teknologi tradisional, dan pengetahuan lokal yang terus bergumul dengan zaman. Bagaimana seni dapat menjadi medium yang tidak hanya mendokumentasikan, tetapi juga menghidupkan kembali nilai-nilai budaya yang terancam tergerus, lalu mengalihwahanakannya sebagai suara-suara dari komunitas kepulauan. 
Pulau Kabung sebagai Ruang Ingatan yang Terancam Pulau Kabung sebuah palimpsest budaya—lapisan-lapisan sejarahnya terus ditulis ulang oleh waktu. Nama "Kabung" sendiri konon berasal dari kata "Gabung," merujuk pada percampuran etnis Cina, Melayu, dan Bugis yang membentuk kebudayaan masyarakatnya. Namun, seperti banyak pulau-pulau di Indonesia, Kabung menghadapi tantangan besar: migrasi generasi muda, perubahan iklim yang mengikis mata pencaharian nelayan, dan gempuran pasar global yang mengubah budaya menjadi komoditas semata. Sotong (Loligo spp.), yang selama ini menjadi salah satu tulang punggung ekonomi pulau, mengalami transformasi semiotik—dari sekadar sumber protein menjadi tanda yang mengacu pada sistem pengetahuan ekologi lokal yang terancam. Begitu pula dengan ritual memancang bagan sebagai teknologi tradisional penangkapan menunjukkan adaptasi kultural terhadap lingkungan maritim, namun kini mengalami disrupsi akibat perubahan sosio-ekonomi dan perlahan kehilangan penuturnya. Di sinilah seni hadir bukan sebagai penonton, melainkan mengisi posisi yang aktif membaca ulang, menginterpretasi, dan mentransformasi nilai-nilai itu ke dalam bahasa yang bisa dipahami oleh generasi sekarang. Praktik Seni sebagai Transmediasi Proyek ini berangkat dari sebuah pertanyaan mendasar: bagaimana mentransmisikan pengetahuan tradisional tanpa terjebak dalam nostalgia atau museumisasi? Secara spekulatif jawabannya ada pada konsep alihwahana—sebuah proses mengubah energi budaya dari satu bentuk ke bentuk lain tanpa kehilangan esensinya. Penciptaan Batik Sotong dari Pulau Kabung menjadi contoh nyata dari proses ini. Dengan menggunakan tintanya sebagai pewarna alami dan teknik cetak tinggi (stempel) yang terinspirasi dari komoditas alamnya, karya ini tidak hanya sekadar eksperimen material, melainkan sebuah upaya untuk menjembatani yang sakral dan yang profan, yang tradisional dan yang kontemporer. Yang menarik, proses penciptaannya sendiri adalah sebuah kritik terhadap budaya konsumerisme: kain batik bisa dipamerkan sebagai karya seni, sementara sotongnya tetap bisa dikonsumsi. Tidak ada yang terbuang; tidak ada yang sia-sia. Cin(E)-Poetry tentang sosiokultural masyarakat Pulau Kabung juga tidak hadir sebagai rekaman video pasif, melainkan sebuah refleksi naratif mempertanyakan relasi antara manusia, laut, dan waktu. Di era di mana teknologi seperti GPS dan sonar telah mengambil alih peran naluri nelayan, ritual ini menjadi semacam performativitas dalam layar tanpa penonton—sebuah pertanda yang meskipun maknanya mungkin sudah bergeser. 
Bagan Tancap: Dekonstruksi Material ke Seni Media Baru Pendekatan dekonstruksi (Derrida) menjadi lensa dalam proyek ini. Di sini, seniman tidak hanya menampilkan budaya Kabung sebagaimana adanya, melainkan membongkar hierarki-hierarki (budaya kota > budaya pulau, ekonomi > ekologi) yang selama ini melekat padanya. Praktik seperti merespon rangka kayu nibung menjadi kerangka instalasi, mempertahankan proporsi aslinya tetapi dengan penambahan elemen kinetik (motor kecil yang menggerakkan bagian tertentu, meniru goyangan jaring nelayan). Jaring nelayan menjadi kanvas proyeksi, di mana video mapping sebagai simbol hubungan manusia-laut. Suara sebagai narasi audio yang diolah menjadi soundscape immersive. Ditempatkan dalam pola surround sound untuk menciptakan ruang auditori yang mengelilingi penonton. Elemen Interaktif berupa sensor pressure di lantai memicu perubahan visual dan gerakan ketika penonton berjalan mendekat. Karya ini bukan sekadar alih bentuk, tetapi upaya mempertahankan jiwa bagan tancap dalam menjembatani interpretasi. Demikian pula dengan migrasi. Dengan memamerkan karya-karya ini di Singkawang dan Pontianak—adalah bentuk site-specific intervention, dua kota yang menjadi tujuan para migran Kabung—ruang di mana identitas mereka sering terfragmentasi. Ini adalah upaya reclaiming space (merebut kembali ruang), mengubah galeri seni menjadi tempat pertemuan antara urban dan tradisi, serta mempertanyakan apa yang hilang ketika seseorang meninggalkan pulau? Apa yang tetap hidup dalam ingatan kolektif? Seni sebagai Praktik Kolaboratif dan Ekonomi yang Hidup Pengetahuan nelayan Kabung tentang musim, arus, dan mengenal sumber dayanya adalah tacit knowledge—pengetahuan yang hidup dalam praktik sehari-hari tetapi sulit diungkapkan dalam teks. Yang membedakan proyek seni ini dari sekadar eksibisi seni biasa adalah komitmennya pada partisipasi masyarakat. Keterlibatan kolaborator lintas disiplin—seperti seniman, praktisi batik, penulis, musisi-komposer, videographer, dan kolektif seni—menjadi tulang punggung proses kreatif yang menghubungkan akar tradisi dengan eksperimen kontemporer. Kolaborasi ini tidak hanya memperkaya estetika karya, tetapi proses menjadi sama pentingnya dengan hasil—setiap diskusi, setiap uji coba material, setiap kegagalan teknis adalah bagian dari cerita yang ingin disampaikan. Lalu eksplorasi Batik Sotong dan pewarna alam yang digunakan tidak hanya melibatkan upaya seniman, tetapi juga perempuan dan generasi muda Kabung. Ini adalah upaya transfer agency—sebuah proses di mana masyarakat tidak lagi menjadi objek pasif, melainkan subjek yang aktif menciptakan dan mendorong proses kreatif. Lebih dari itu, proyek ini juga membuka peluang ekonomi alternatif. Jika Batik Sotong bisa menjadi produk yang bernilai jual, maka seni tidak lagi sekadar ekspresi personal, melainkan tulang punggung baru bagi keberlanjutan budaya. Ini adalah model preservasi yang hidup—budaya tidak diawetkan di museum, tetapi ditanam kembali ke dalam kehidupan sehari-hari. 
Epilog: Melampaui Esok dengan Kembali ke Akar Kabung dan Upaya yang Melampaui Esok bukanlah proyek seni tentang melestarikan masa lalu, melainkan tentang menemukan benang merah antara yang lama dan yang baru. Ia adalah upaya untuk mengatakan bahwa tradisi tidak harus mati di era digital—ia bisa berevolusi, beradaptasi, dan menemukan bentuk-bentuk baru yang relevan. Di akhir hari, ketika seorang pengunjung pameran berdiri di depan instalasi karya, batik sotong atau menonton video mungkin yang terlintas bukanlah jawaban, melainkan pertanyaan: Apa yang kita pertahankan? Apa yang kita tinggalkan? Dan apa yang kita bawa ke masa depan? Dan di situlah seni bekerja—bukan dengan kepastian, melainkan dengan keberanian untuk terus bertanya. Ikuti terus cerita Pontinesia, dari Pontianak makin tahu Indonesia!
|