Menyusuri Hilir Mudik Kapal Bandong di Kapuas
CERITA KOTA | Tiada hari yang sepi di tepian sungai kapuas. Peluit uap berbunyi, asap pun mengepul dan terbang ke langit. Pelabuhan Senghie dan Pasar Kapuas Indah kembali menyambut belasan kapal dari hulu dan hilir. Satu diantara kapal yang berlabuh, adalah Kapal Bandong. Berlayar hilir mudik mengarungi kapuas selama kurang lebih seminggu, membawa hasil bumi yang tersusun rapi di atas kapal. Pertama kali muncul pada awal abad ke-20, bandong dalam namanya dapat diartikan sebagai rumah, karena bentuknya yang beratap dan dapat ditinggali oleh awak kapal. Dalam versi yang lain, penamaannya berasal dari bentuk kapal yang melengkung menyerupai ubi. Versi ini muncul dari bahasa lokal Pontianak “bandong” yang berarti ubi. Uniknya, kapal ini hanya ada di Kalimantan Barat. Dengan jumlah yang sangat terbatas, kapal bandong sempat menjadi salah satu moda transportasi sungai yang menghubungkan kehidupan antar daerah. Akademisi UPGRI Pontianak yang juga seorang sejarawan, Karel Juniardi, menjelaskan bagaimana kapal bandong pernah menjadi penggerak ekonomi di Kalimantan Barat. “Diketahui sekitar tahun 1914, ada kapal bandong pertama yang diberi nama Josina oleh pemerintahan Belanda. Mereka hilir mudik dari hulu ke hilir mengangkut barang seperti sumber daya alam, surat-surat berharga hingga manusia dari Pontianak ke arah hulu," ujar Karel. 
Josina berhari-hari menyusuri sungai Kapuas, kemudian berhenti di pelabuhan-pelabuhan besar sesuai dengan barang-barang itu ditujukan. Misalnya dari Pontianak ke pelabuhan Tayan, Meliau, Sanggau, Sekadau, kemudian Sintang, bahkan sampai ke hulu lagi seperti ke Selimbau dan Bunut. Kapal bandong mencapai masa kejayaannya setelah kemerdekaan. Sekitar tahun 70-an, distribusi barang melalui jalur air menjadi lebih digemari karena jauh lebih efisien. Muatan kapal bandong yang besar mempermudah proses dagang antara daerah pedalaman dan ibukota. Beberapa hasil yang diperjualbelikan yang pada masa kolonial Belanda adalah barang yang laku di pasaran Eropa ataupun belahan Nusantara yang lain. Komoditas yang dimaksud antara lain seperti karet, kopra, rotan dan berbagai hasil kayu hingga sarang burung walet. Namun, jalur sungai ini juga tidak selamanya aman. Lintasan alami ini sangat bergantung dengan pasang surut serta iklim dan musim pelayaran. “Salah satu tantangan daripada Kapal Bandong zaman dulu maupun zaman sekarang jadi itu masalah cuaca dan musim. Jika sedang musim kemarau kemudian air surut itu juga menjadi kelemahannya. Akibatnya kapal bandong bisa tidak beroperasi selama beberapa hari, bahkan sampai berminggu-minggu dan berbulan-bulan,” katanya. Seiring dengan perkembangan zaman dan jalur transportasi darat, kepopuleran kapal bandong semakin menurun. Meskipun terlihat belasan kapal menepi di pelabuhan Senghie dan di depan Pasar Kapuas Indah, nyatanya hanya ada 4-5 kapal yang tergolong ke kapal bandong. “Perawatan kapal bandong sendiri tidak mudah dan tidak murah. Belum lagi harus menggaji anak buah kapal (ABK), lalu ada risiko kerusakan kapal dan barang karena alam dan cuaca ekstrem. Nah, hal ini membuat banyak pemilik kapal bandong yang memilih untuk menjual kapal milik mereka. Kalau sudah dijual, biasanya kapal bandong tidak akan diperbaiki, tetapi akan dibongkar dan dijual materialnya,” tutur Karel. Mahalnya perawatan membuat kapal bandong semakin langka. Kelangkaan ini bisa membuka potensi peralihan fungsi kapal bandong menjadi kapal wisata. Namun, hingga kini belum ditemui kapal bandong tua yang diregenerasi kemudian benar-benar dialih fungsikan dari kapal muatan ke kapal wisata. “Kalau kita lihat kapal-kapal wisata yang mengangkut orang, terus mutar-mutar di dekat waterfront itu bentuknya mirip dengan kapal bandong. Cuma sebenarnya itu bukan kapal bandong asli, melainkan seperti miniatur atau replikanya saja," terangnya. Dalam pembuatannya, kapal tersebut didesain dan dimodifikasi sedemikian rupa, hingga menyerupai kapal bandong. Hal ini dilakukan untuk menarik pengunjung sehingga meningkatkan potensi wisata sungai di Kota Pontianak. Kini, keberadaan kapal bandong kian menyusut seakan dimakan zaman. Namun, kisahnya terus berlayar di antara riak dan waktu. Kehadirannya di ingatan masyarakat menjadi bukti bahwa kapal ini pernah menjadi nadi kehidupan yang pernah membentuk peradaban sungai di Kalimantan Barat. (*) 
Ikuti terus cerita Pontinesia, dari Pontianak makin tahu Indonesia!
|