Mengenal Peno-peno, Tradisi Syukur Masyarakat Bugis Kubu Raya
13 Oktober 2024 |
412 views |
CERITA KOTA | Sejumlah perempuan dewasa tengah mengayam janur membentuk keranjang. Sebelumnya, para lelaki telah memotong batang-batang bambu muda, merakitnya menjadi rak satu tingkat, dengan presisi sempurna. Keranjang janur dimasukkan dalam rak bambu, lantas diisi berbagai sesaji, dan lilin. Rak bambu itu dalam istilah Bugis di Kubu Raya disebut lesuji. Sedangkan anyaman janur, dinamakan anca. Keriuhan di dapur belum selesai. Ketupat, pulut empat warna, pisang, telur, sebuah kelapa kuning dan beberapa kelengkapan ritual lain mulai mengisi talam. Setelah siap, semua dihampar di ruang tamu. Kini giliran sanro ambil peran. Setidaknya begitulah sedikit gambaran ritual peno-peno masyarakat Bugis di Desa Jeruju Besar, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. 
Ritual peno-peno merupakan fokus penelitian Gunawan yang didiskusikan di Jumpa Kopitiam, Pontianak, Sabtu (12/10/2024). Ia menjadi satu dari sekian penerima bantuan pemerintah fasilitasi pemajuan kebudayaan tahun 2024 di Kalbar. Gunawan bercerita peno memiliki makna turun. Dalam prosesinya, ritual ini memang menurunkan seperangkat persembahan dalam lesuji dan anca. "Dalam artian filosofis, turun di sini bukan hanya menurunkan barang-barang ritual, melainkan menurunkan sesuatu yang menjadi hakikat dan keinginan yang punya hajat. Dengan tujuan mendapat perlindungan dan keberkahan Allah," kata Gunawan. 
Dalam praktiknya, peno-peno merupakan bagian dari acara pernikahan adat Bugis, baik sebelum maupun sesudahnya. Ritual ini juga dilaksanakan atas dasar menjalankan ritual keturuan, naek tojang, sunatan, dan lain sebagainya. Peno-peno mengandung nilai-nilai filosofis dan spiritual yang menjadi pedoman hidup masyarakat Bugis di Kubu Raya. Dalam penelusuran lapangan Gunawan, setidaknya ada tiga jenis peno-peno di tengah masyarakat Bugis Kubu Raya. Salah satu prosesinya bisa ditonton di sini. Pertama, peno-peno niat. Salah satu jenis yang membuat ritual ini tetap berjalan. Dalam kepercayaan mereka, jika masyarakat Bugis berniat hendak melaksanakan ritual peno-peno karena alasan tertentu, maka akan berlanjut ke anak—cucunya. Contohnya pada satu keluarga Bugis di Desa Jeruju Besar, Kecamatan Sungai Kakap, Kubu Raya. Mereka tidak memiliki anak laki-laki. Sang ayah pun berniat apabila di kemudian hari mempunyai anak laki-laki, maka ia akan melaksanakan peno-peno. Usai kehamilan ke sekian, istrinya melahirkan anak lelaki. Peno-peno pun dilangsungkan untuk membayar niat tersebut usai anaknya lahir. Hingga kini, ritual tetap dilanjutkan dan diwariskan kepada anak—cucunya sebagai bentuk rasa syukur. 
Kedua, peno-peno bawaan acara. Ritual ini menjadi bagian dari tradisi lain. Peno-peno selalu jadi pembuka acara-acara penting seperti pernikahan, sunatan dan naek tojang. Fungsinya sebagai sarana untuk memohon berkah, perlindungan, dan kesuksesan dalam pelaksanaan acara tersebut. Ketiga, peno-peno keturunan. Jenis ini lebih pada upaya mempertahankan tradisi turun-temurun. Para orang tua mewariskan dengan mencontohkan. Terlebih dalam peno-peno tidak berdiri sendiri. Namun ketiganya memiliki persamaan, di mana peran komunitas yang saling terikat. Orang-orang Bugis Kubu Raya terbiasa saling membantu ketika ada acara. Keterlibatan tersebut pada akhirnya memupuk rasa kebersamaan dan solidaritas sesama. Mereka menyebutnya dengan nilai keleleng, yang dalam masyarakat Indonesia dikenal dengan gotong-royong. (*) Ikuti terus cerita Pontinesia, dari Pontianak makin tahu Indonesia!
|