Cerita Kota

Putra Tarigas dan Cerita dari Benang ke Makna

10 Oktober 2025

62 views

Kontributor :
Katekuchan
@arasyahh.a
Kontributor :
Katekuchan
@arasyahh.a

“Lahir beradat, hidup beradat, mati pun beradat.”

Ungkapan itu menjadi pegangan hidup bagi Putra Tarigas, seorang kreator muda asal Kalimantan Barat yang menjadikan budaya sebagai napas dalam setiap langkahnya. Di balik kesederhanaan kalimat itu tersimpan makna mendalam bahwa manusia lahir dari adat, tumbuh dalam budaya, dan semestinya berpulang dengan menghormati akar tempatnya berasal. 

Dari keyakinan itulah lahir tekad Putra untuk mengangkat satu warisan luhur yang sering luput dari sorotan, yaitu wastra.

Dalam tradisi Nusantara, wastra berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti kain atau busana, namun maknanya jauh lebih dalam. Wastra adalah perwujudan nilai, doa, dan identitas. Setiap tenunan, setiap motif, dan setiap warna mencerminkan kisah panjang peradaban, doa-doa leluhur, serta pandangan hidup masyarakat yang menciptakannya.

Bagi Putra, wastra adalah cerita yang ditulis dengan benang dan waktu. 

“Kenapa harus batik, kalau Kalimantan Barat punya kain tenun yang nggak kalah indahnya?” katanya.

Pernyataan itu bukan bentuk penolakan terhadap batik, melainkan panggilan untuk membuka mata: bahwa Indonesia memiliki beragam wastra dari ujung barat hingga timur, masing-masing dengan karakter dan makna yang sama berharganya.

Dalam ajang Inspiring Leader Batik Conference & Culture Festival 2025 di Kuala Lumpur, Malaysia, Putra tampil berbeda. Saat hampir semua delegasi mengenakan batik, ia melangkah ke panggung dengan balutan tenun kebat Sekadau, kain tradisional hasil karya masyarakat Dayak Iban.

Keputusannya bukan tanpa makna. Ia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Kalbar juga memiliki wastra yang sarat filosofi dan keindahan, sejajar dengan batik, songket, dan tenun dari daerah lain di Indonesia.

Tenun kebat diproses dengan sabar, benang demi benang ditenun secara manual selama berbulan-bulan, tanpa bantuan mesin. Motifnya bercerita tentang alam, pohon, burung, dan kehidupan. Setiap helai dibuat dengan ketulusan, menjadi simbol kedekatan manusia dengan alam dan leluhur.

Keberanian Putra tampil dengan wastra Kalimantan Barat di forum internasional itu justru mengantarnya pada pencapaian gemilang. Dari 47 delegasi terpilih se-Indonesia, hasil seleksi dari lebih dari 600 pendaftar, Putra berhasil memborong tiga penghargaan sekaligus, yakni Best Delegate, 2nd Best Talent, dan Favorite Delegate.

Wastra adalah identitas, Bagi Putra, merupakan bentuk penghormatan pada akar dan leluhur. Ia menegaskan bahwa generasi muda harus kembali menengok budaya sendiri tanpa merasa kuno.

“Kalau Jepang bangga dengan Harajukunya, Korea dengan K-pop-nya, kenapa Indonesia tidak bangga dengan kainnya sendiri?” ujarnya.

Melalui komunitas Gerakan Berkain di Pontianak yang ia dirikan sejak tiga tahun lalu, Putra terus mendorong anak muda untuk menghidupkan kembali tradisi berpakaian kain. Ia memadukan unsur modern dan tradisional, membuktikan bahwa budaya dan modernitas bisa bersanding harmonis.

Budaya itu bukan beban yang harus kita pikul, tapi cahaya yang harus kita bawa. Melalui wastra, Putra ingin menunjukkan bahwa mencintai budaya merupakan bentuk keberanian untuk berdiri di antara arus global tanpa kehilangan akar. Karena baginya, selama manusia masih mengenali asalnya, selama itu pula budaya akan tetap hidup. (*)

Ikuti terus cerita Pontinesia, dari Pontianak makin tahu Indonesia!




Top