Duduk Sama Rendah Berdiri Sama Tinggi di Tradisi Saprahan Melayu
CERITA KOTA | Di tanah Melayu Kalimantan Barat, terdapat tradisi yang erat melekat dalam keseharian masyarakatnya, yaitu saprahan. Lebih dari sekadar cara menyajikan makanan, saprahan mencerminkan filosofi hidup orang Melayu yang menjunjung tinggi kebersamaan dan kesederhanaan. Tradisi ini tidak hanya menjadi bagian dari ritual adat, tetapi juga tercatat sebagai warisan budaya tak benda yang diakui negara. Saprahan adalah adat makan bersama yang dilakukan dengan duduk di lantai. Pada dasarnya, orang-orang berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil di bawah tarup—semacam tenda besar—mengelilingi hidangan yang telah diatur di atas kain panjang yang disebut saprah. Bagi masyarakat Melayu Sambas dan Pontianak, saprahan bukan hanya soal makan, tetapi cara untuk saling menghormati, mempererat tali silaturahmi, serta menunjukkan identitas budaya mereka. Tradisi saprahan awalnya hanya berlaku di lingkungan kesultanan, namun seiring berjalannya waktu, adat ini meluas hingga menjadi kebiasaan masyarakat di berbagai acara, seperti pernikahan, khitanan, hingga syukuran. Pada dasarnya, saprahan mengajarkan filosofi duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Setiap orang, tanpa memandang status sosial, duduk bersama di lantai yang sama, menyantap makanan yang disajikan dengan tertib. Hal ini menggambarkan kesetaraan, keramahtamahan, dan solidaritas yang menjadi nilai utama dalam kehidupan masyarakat Melayu. Saprahan memiliki aturan dan tata cara yang terstruktur dengan baik. Mulai dari peralatan yang digunakan, menu hidangan, hingga tata cara penyajiannya, semua dilakukan dengan penuh hormat dan kerapian. Peralatan yang digunakan dalam saprahan terdiri dari kain saprah, piring makan, kobokan atau tempat air cuci tangan, serbet, mangkok nasi dan lauk. Seluruh hidangan diatur secara berurutan, dimulai dari penyebaran kain saprah di lantai, disusul dengan penempatan piring, kobokan, dan serbet. Setelah itu, nasi dan lauk pauk seperti semur daging, sayur, paceri nanas, dan acar telur disajikan dengan rapi. Dalam acara-acara besar, ada kue tradisional dan air serbat khas Kota Pontianak yang dihidangkan sebagai penutup. Tidak lupa, acara saprahan biasanya ditutup dengan pembacaan shalawat yang dipimpin oleh seseorang yang dituakan dalam majelis adat tersebut. Meski saat ini saprahan lebih sering terlihat dalam acara besar, seperti pernikahan atau khitanan, di beberapa daerah seperti Sambas, saprahan masih menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Masyarakat Sambas kerap menerapkan tradisi makan bersama ini sebagai bentuk kebersamaan keluarga, meskipun hidangan yang disajikan lebih sederhana dan sesuai dengan kebutuhan harian. Ini membuktikan bahwa saprahan tidak hanya hidup dalam acara-acara adat, tetapi juga menjadi bagian dari keseharian yang melekat pada budaya lokal. Di tengah modernisasi, tradisi saprahan terus dipertahankan sebagai simbol kebersamaan dan persaudaraan. Warisan budaya tak benda ini tidak hanya mengingatkan kita pada pentingnya adat dan tata cara, tetapi juga pada nilai-nilai sosial yang harus selalu dijaga. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, itulah pesan yang ingin disampaikan melalui setiap sajian saprahan, sebuah tradisi yang terus hidup di tengah masyarakat Melayu. Saprahan bukan hanya soal makan, melainkan soal menyatukan hati, berbagi rezeki, dan menjaga keakraban. Dengan terus melestarikan tradisi ini, kita tidak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga meneruskan nilai-nilai luhur yang telah diwariskan oleh leluhur. (*) Ikuti terus cerita Pontinesia, dari Pontianak makin tahu Indonesia!
|
|